Langsung ke konten utama

ASAS IUS CURIA NOVIT

 Maksudnya adalah bahwa hakim dianggap tahu akan hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengetahui hukum.  Asas ius curia novit secara yuridis formal hukum positif di Indonesia adalah diatur dalam:  a. Pasal 5 (1) dan Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009;  b. Pasal 56 (1) UU No. 50 Tahun 2009.  Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (recht vacum), melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.  Menggali hukum dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan maupun nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law/ local wisdem).

LATAR BELAKANG LAHIRNYA ASAS HUKUM

 Latar belakang lahirnya asas hukum adalah dipengaruhi oleh dan dari konteks sosial tertentu. Oleh sebab itu, apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka unsur keyakinanlah yang lebih dominan melatarbelakangi terbentuknya asas hukum, meskipun pada sisi lain tidak tertutup kemungkinan apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka berarti kita berlatar-belakangkan keyakinan bahwa asas hukum itu tidak lain lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu.

Asas hukum yang lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu dapat diberikan contoh yang populer di kalangan pemerhati dan pengkaji hukum, yakni asas “the rule of law”. Asas ini lahir pada abad XVIII sebagai alat dari kaum Borjuis ketika itu, untuk melawan kekuasaan raja dan kaum bangsawan yang feodal.  Untuk dapat merebut dan meruntuhkan pengaruh raja dan kaum bangsawan yang feodal itu yang keberadaannya sangat dominan pengaruh kekuasaannya, maka kaum borjuis menciptakan suatu struktur sosial baru yang dapat mengatasi dan membatasi kekuasaan raja dan kaum bangsawan, yakni menciptakan “asas hukum” berupa “the rule of law” yang bertujuan untuk mendudukkan semua manusia adalah sama kedudukannya di muka hukum. Sebenarnya asas hukum “the rule of law” ini lahir untuk menunjang kepentingan perebutan kekuasaan golongan borjuis terhadap raja dan kaum bangsawan yang berkuasa ketika itu.

Keberadaan asas “the rule of law” yang sangat populer dewasa ini, memang tidak dapat sangkal mengenai nilai positifnya, namun dengan melihat latar belakang sejarahnya, asas “the rule of law” ini tidaklah dapat kita terima begitu saja sebagai doktrin yang universal, yang pasti cocok dan dapat ditransfer di masyarakat mana saja. Penerapan asas “ the rule of law” ini membutuhkan “penyesuaian sosial” di mana asas ini ingin diterapkan. Sebab persepsi setiap masyarakat terhadap konkritisasi dari asas “ the rule of law” akan senantiasa ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor non hukum, seperti faktor politik, budaya, dan sosial. 

Menurut Schuyt, asas hukum yang dibentuk dalam konteks sosial tertentu, apabila ingin diterapkan pada kondisi masyarakat sosial tertentu lainnya harus selektif dan hati-hati, sebab kondisi sosio-masyarakat dalam satu tempat dengan kondisi sosio-masyarakat pada tempat lainnya tidak selalu sama. Pandangan Schuyt ini sejalan dengan pendapat Robert Seidman yakni “the law of the non transferbility of law” (hukum itu tidak dapat begitu saja ditransfer dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya). Terlebih lagi, dinamika hukum yang hidup di dalam masyarakat tertentu sangat berbeda dengan dinamika hukum yang hidup pada masyarakat lainnya yang berkembang secara pesat mengikuti perkembangan masyarakatnya masing-masing. Apabila asas hukum yang dibentuk oleh kondisi masyarakat tertentu pada masa lalu, belum tentu sesuai dengan fakta sosial masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal ini, sesuai dengan pendapat yang menyatakan “het recht hinkt achter de feiten aan” (hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta).

Komentar